My List

Jumat, 31 Mei 2013

Pancasila Sebagai Ideologi Nasional

Pancasila sebagai Ideologi Nasional

Pancasila sebagai Ideologi Nasional seperti kita ketahui, selain sebagai Dasar Negara, ia juga menjadi ideologi bangsa. Sebagai ideologi nasional, Pancasila berfungsi menggerakkan masyarakat untuk membangun bangsa dengan usaha-usaha yang meliputi dalam semua bidang kehidupan. Pancasila tidak menentukan secara apriori sistem ekonomi dan politik, tetapi sistem apa pun yang dipilih harus mampu menyalurkan aspirasi utama tersebut.
Pancasila sebagai Ideologi Nasional yang pada dasarnya menampilkan nilai-nilai universal menunjukan wawasan yang integral integratif dan sebagai ideologi modern mampu memberikan gairah dan semangat yang tinggi. Berbeda dengan ideologi-ideologi Barat, Pancasila yang dilahirkan dalam budaya dan sejarah peradapan timur sangat menjunjung tinggi peran religiusitas yang justru sangat didambakan dalam alam kehidupan dan peradapan teknokratis sekarang ini.
Sebagaimana kita ketahui, kondisi masyarakat sejak permulaan hidup kenegaraan adalah serba majemuk. Masyarakat Indonesia bersifat multietnis, multireligius, dan multiideologis. Kemajemukan tersebut menunjukkan adanya berbagai unsur yang saling berinteraksi. Berbagai unsur dalam bidang-bidang kehidupan masyarakat merupakan benih-benih yang dapat memperkaya khazanah budaya untuk membangun bangsa yang kuat, tetapi sebaliknya dapat memperlemah kekuatan bangsa dengan berbagai percekcokan dan perselisihan.
Pancasila sebagai Pemersatu Bangsa
Melihat situasi demikian, masalah yang perlu diatasi pertama kali adalah bagaimana menggalang persatuan dan kesatuan bangsa yang sangat dibutuhkan untuk mengawali penyelenggaraan negara. Dengan kata lain, nation and character buildings merupakan prasyarat dan tugas utama yang harus dilaksanakan. Dalam konteks ini Pancasila dipersepsikan sebagai ideologi persatuan. Pancasila diharapkan mampu memberikan jaminan persatuan untuk memecahkan perbedaan serta pertentangan politik di antara golongan dan kekuatan politik.
Karena urgensi untuk memecahkan masalah-masalah politik selama dua dasawarsa dalam penyelenggaraan negara, Pancasila sebagai Ideologi Nasional dipersepsikan sebagai sintesa atau perpaduan yang mempersatukan berbagai sikap hidup yang berada di tanah air. Berbagai aliran dan pendirian yang berbeda dipertemukan dalam Pancasila. Pancasila menyediakan arena yang di satu pihak memberikan keleluasaan bergerak, tetapi di pihak lain memberikan patokan moral yang tidak boleh dilanggar.
Penampilan Pancasila sebagai ideologi persatuan atau pemersatu telah menunjukkan relevansi dan kekuatannya dalam dua dasawarsa sejak permulaan kehidupan dan penyelenggaraan negara RI. Rakyat Indonesia telah dibangun dengan kasadaran kuat sebagai bangsa yang memiliki identitas dan hidup bersatu dalam jiwa nasionalisme dan patriotisme.
Fungsi Pancasila sebagai Ideologi Nasional untuk memberikan orientasi ke depan mengharuskan bangsa Indonesia selalu menyadari situasi kehidupan yang sedang dihadapinya. Kemajuan ilmu pengetahuan, kecanggihan teknologi, dan pesatnya perkembangan sarana komunikasi membuat dunia makin kecil dan independensi di kalangan bangsa-bangsa di dunia semakin menguat.
Pembangunan nasional tidak hanya ditentukan faktor-faktor dalam negeri, tetapi juga dikaitkan dengan faktor yang berkaitan dengan permodalan. Bangsa Indonesia kini sedang sibuk membangun dengan usaha memecahkan masalah-masalah dalam negeri, seperti kemiskinan dan kesenjangan sosial, mau tidak mau terseret ke dalam jaringan politik dunia yang dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi raksasa dunia. Tantangan itu hanya bisa diatasi apabila bangsa Indonesia tetap mempertahankan identitasnya dalam ikatan persatuan nasional dan mampu mengembangkan dinamikanya agar mampu bersaing dengan bangsa lain di dunia.

Potensi Geografis Indonesia

Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah. Hutan, sungai, maupun lautnya memiliki potensi melimpah. Sayangnya, potensi ini sangat minim tergali. Hal yang juga menjadi persoalan dari penggalian potensi ini adalah masih minimnya peneliti lokal yang melakukan riset atas berbagai potensi alam Indonesia. Potensi-potensi ini justru tergali dan ditemukan oleh para peneliti asing. Akibatnya, ketika temuan ini dipatenkan pihak asing maka bangsa ini kembali harus kehilangan ‘kekayaannya’.

Potensi Geografis dan Karakteristik Spasial Indonesia
Sumberdaya wilayah di Indonesia sangat dipengaruhi oleh aspek geografis secara keruangan, kelingkungan maupun kewilayahan. Sebagai negara kepulauan yang luas dengan jumlah pulau yang banyak memiliki sumberdaya laut (marine resources) dan daratan (land resources) yang perlu dikelola secara terintegrasi. Aspek klimatologi, geologis/ geomorfologis, hidrologis, biotis dan manusia serta sosio kulturnya yang beragam sangat penting dikaji dalam mengelola sumbedaya wilayah untuk kesejahteraan bangsa.
Selain tinjauan aspek lingkungan dan kebencanaan alam yang terjadi disetiap wilayah provinsi, kabupaten/kota perlu dijadikan kriteria dalam perencanaan pembangunan (pengembangan industri) wilayah dan implementasinya. Sebagai negara tropis, visi pembangunan di Indonesia perlu memantapkan diri sebagai Negara pertanian yang kuat melalui konsep agro produksi, agroindustri, agrobisnis, agroteknologi dan agrososio kultur serta tourisme.
Pendekatan ini dapat mengurangi resiko kerusakan lingkungan dan bencana alam bila dikelola dengan baik sesuai dengan daya dukung lingkungan, oleh karena itu pembangunan nasional kedepan diutamakan pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan penguasaan IPTEKS untuk kehidupan. Pengelolaan sumberdaya wilayah/ ruang berkelanjutan dapat dicapai dengan mempertimbangkan keberlanjutan ekologi ekonomi, manajemen sumberdaya dan lingkungan, keberlanjutan teknologi dan sosio kultur.

1. Potensi Geografis Indonesia
Negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari 13667 pulau dengan 5 pulau besar, berbatasan dengan laut Andawan, China Selatan, Malaysia, Phillipina dan Samudera Pasifik, Hindia dan Australia. Bentang alam di daratan barat mempunyai perairan dangkal (Dangkalan Sunda), daratan timur mempunyai perairan dangkalan (Dangkalan Sahul) dan cekungan tengah memiliki perairan laut dalam dengan beberapa palung laut.
Daratan Indonesia sebagian besar kelanjutan dari jalur pegunungan Sirkum Pasifik dan jalur Sirkum Mediteran. Dataran rendah dan luas ada di Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya dan Jawa. Terdapat gunung api aktif sekitar 200 dan yang 70 berada di Pulau Jawa. Selain hasil erupsi gunung api yang memberikan lahan subur pada lerengnya, juga ada resiko bencana gunung api. Sungai-sungai dan muara juga terdapat di pulau-pulau besar yang potensial dikelola untuk kehidupan demikian danau-danau besar di Sumatera, Sulawesi, Jawa, Kalimantan. Diperkirakan sekitar 7.623 pulau di Indonesia belum punya nama (ensiklopedia Indonesia seri Geografis, 1997).
Potensi flora di Indonesia beragam sesuai dengan kondisi ekosistemnya. Tumbuhan terdapat pada zona elevasi < 700 m, 1.500 – 2.500 m dan diatas elevasi 2.500 m dpal. Sebaran flora mulai dari kawasan pantai, dataran rendah dan berawa, lereng kaki gunung hingga pegunungan. Demikian corak fauna yang beragam dan khas (corak Australia).
Penduduk yang beragam suku dan bahasanya serta agama terdapat di wilayah Indonesia yang diperkirakan 300 kelompok etnik (suku bangsa). Ratusan bahasa lisan (daerah) di jumpai di Indonesia, sedangkan bahasa resmi adalah bahasa Indonesia. Beragam seni dan budaya yang dimiliki oleh berbagai kelompok etnik tersebut.
Berdasarkan kondisi geografis tersebut dan kehidupan sejak jaman kerajaan, maka urutan potensi pemanfaatan sumberdaya wilayah meliputi:
1. Pertanian
2. Perkebunan
3. Kehutanan
4. Perikanan
5. Peternakan
6. Pariwisata
7. Pertambangan
8. Industri dan jas
9. Perdagangan


2. Karakteristik Spasial Potensi Geografis
Pembangunan wilayah pengembangan industri ditinjau dari aspek spasial dan sektoral di Indonesia perlu memperhatikan zona potensi geografis yang merupakan pendekatan spasial-ekologikal untuk menuju kesejahteraan rakyat. Pemecahan masalah pembangunan dan upaya memajukan rakyat dapat dikelompokkan atas 5 (lima) tipologi wilayah pembangunan geografis yaitu:
1) Wilayah dengan sumberdaya alam melimpah (kaya) dan sumberdaya manusia yang banyak seperti Pulau Jawa dan Bali.
2) Wilayah dengan sumberdaya alam melimpah (kaya) dan sumberdaya manusia sedikit seperti Pulau Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya, Sulawesi.
3) Wilayah dengan sumberdaya alam sedikit dan sumberdaya manusia terlalu banyak seperti Jakarta dan kota – kota besar lainnya.
4) Wilayah dengan sumberdaya alam sedikit dan sumberdaya manusia sedikit seperti Nusa Tenggara dan Maluku.
5) Wilayah dengan sumberdaya alam yang belum diketahui potensinya dan belum ada manusianya seperti pulau-pulau kecil yang belum dihuni. 

Dengan zonasi potensi geografis, maka pembangunan (pengembangan industri) sektoral dapat diarahkan terutama untuk pembangunan di kawasan tertinggal seperti pada zona Maluku dan Nusa Tenggara. Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dapat diarahkan agar resiko kerusakan lingkungan dan bencana alam di tiap zona tersebut dapat dikendalikan.

Perbatasan Wilayah Negara RI, Perjanjian dan Permasalahan yang ada

 Perbatasan Wilayah Negara RI 

Indonesia adalah negara kepulauan dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.499 pulau dan luas wilayah perairan mencapai 5,8 juta km2, serta panjang garis pantai yang mencapai 81.900 km2. Dua pertiga dari wilayah Indonesia adalah laut, implikasinya, hanya ada tiga perbatasan darat dan sisanya adalah perbatasan laut. Perbatasan laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara diantaranya Malaysia, Singapura, Filipina, India, Thailand, Vietnam, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Sedangkan untuk wilayah darat, Indonesia berbatasan langsung dengan tiga negara, yakni Malaysia, Papua Nugini, danTimor Leste dengan panjang garis perbatasan darat secara keseluruhan adalah 2914,1 km. Luasnya wilayah perbatasan laut dan darat Indonesia tentunya membutuhkan dukungan sistem manajemen perbatasan yang terorganisir dan profesional, baik itu ditingkat pusat maupun daerah. Akan tetapi minimnya infrastruktur di kawasan perbatasan telah menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki sebuah sistem manajemen perbatasan yang baik. Adapun batas-batas wilayah laut Indonesia dengan negara-negara tetangga meliputi:
(1) batas laut teritorial,
(2) batas zona tambahan,
(3) batas perairan ZEE, dan
(4) batas landas kontinen.
            Yang dimaksud laut teritorial adalah wilayah kedaulatan suatu negara pantai yang meliputi ruang udara dan laut serta tanah di bawahnya sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal. Zona tambahan mencakup wilayah perairan laut sampai ke batas 12 mil laut di luar laut teritorial atau 24 mil laut diukur dari garis pangkal. ZEE adalah suatu wilayah perairan laut di luar dan berdampingan dengan laut teritorial yang lebarnya tidak lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal; yang mana suatu negara pantai (coastal state) memiliki hak atas kedaulatan untuk eksplorasi, konservasi, dan pemanfaatan sumber daya alam. Landas kontinen suatu negara meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya yang menyambung dari laut teritorial negara pantai melalui kelanjutan alamiah dari wilayah daratannya sampai ujung terluar tepian kontinen.
Belum tuntasnya penentuan garis batas suatu negara terhadap negara lain dapat berpotensi menjadi sumber permasalahan hubungan keduanya di masa datang. Di samping garis batas, masalah pelintas batas, pencurian sumber daya alam, dan kondisi geografi juga merupakan sumber masalah yang dapat mengganggu hubungan antar negara. Di kawasan Asia Tenggara, ketidak jelasan batas antar dua negara dialami oleh beberapa negara yang berbatasan, termasuk di laut Cina Selatan. Indonesia juga memiliki permasalahan perbatasan dengan negara-negara lain, terlebih lagi mengingat demikian luasnya wilayah darat dan perairan. Indonesia memiliki sepuluh negara tetangga yang berbatasan, yakni Malaysia, Singapura, Thailand, India, Filipina, Vietnam, Papua Nugini, Australia, Palau dan Timor Leste.

Perbatasan Indonesia-Singapura
Penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulauan Riau yakni wilayah yang berbatasan langsung dengan Sinagpura, telah berlangsung sejak tahun 1970. Kegiatan tersebut telah mengeruk jutaan ton pasir setiap hari dan mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir pantai yang cukup parah. Selain itu mata pencaharian nelayan yang semula menyandarkan hidupnya di laut, terganggu oleh akibat penambangan pasir laut. Kerusakan ekosistem yang diakibatkan oleh penambangan pasir laut telah menghilangkan sejumlah mata pencaharian para nelayan.
Penambangan pasir laut juga mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil karena dapat menenggelamkannya, misalnya kasus Pulau Nipah. Tenggelamnya pulau-pulau kecil tersebut menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia, karena dengan perubahan pada kondisi geografis pantai akan berdampak pada penentuan batas maritim dengan Singapura di kemudian hari.

Perbatasan Indonesia-Malaysia
Penentuan batas maritim Indonesia-Malaysia di beberapa bagian wilayah perairan Selat Malaka masih belum disepakati ke dua negara. Ketidakjelasan batas maritim tersebut sering menimbulkan friksi di lapangan antara petugas lapangan dan nelayan Indonesia dengan pihak Malaysia.
Demikian pula dengan perbatasan darat di Kalimantan, beberapa titik batas belum tuntas disepakati oleh kedua belah pihak. Permasalahan lain antar kedua negara adalah masalah pelintas batas, penebangan kayu ilegal, dan penyelundupan. Forum General Border Committee (GBC) dan Joint Indonesia Malaysia Boundary Committee (JIMBC), merupakan badan formal bilateral dalam menyelesaikan masalah perbatasan kedua negara yang dapat dioptimalkan.

Perbatasan Indonesia-Filipina
Belum adanya kesepakatan tentang batas maritim antara Indonesia dengan Filipina di perairan utara dan selatan Pulau Miangas, menjadi salah satu isu yang harus dicermati. Forum RI-Filipina yakni Joint Border Committee (JBC) dan Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC) yang memiliki agenda sidang secara berkala, dapat dioptimalkan menjembatani permasalahan perbatasan kedua negara secara bilateral.

Perbatasan Indonesia-Australia
Perjanjian perbatasan RI-Australia yang meliputi perjanjian batas landas kontinen dan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mengacu pada Perjanjian RI-Australia yang ditandatangani pada tanggal 14 Maret 1997. Penentuan batas yang baru RI-Australia, di sekitar wilayah Celah Timor perlu dibicarakan secara trilateral bersama Timor Leste.

Perbatasan Indonesia-Papua Nugini
Indonesia dan PNG telah menyepakati batas-batas wilayah darat dan maritim. Meskipun demikian, ada beberapa kendala kultur yang dapat menyebabkan timbulnya salah pengertian. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antar penduduk yang terdapat di kedua sisi perbatasan, menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional dapat berkembang menjadi masalah kompleks di kemudian hari.

Perbatasan Indonesia-Vietnam
Wilayah perbatasan antara Pulau Sekatung di Kepulauan Natuna dan Pulau Condore di Vietnam yang berjarak tidak lebih dari 245 mil, memiliki kontur landas kontinen tanpa batas benua, masih menimbulkan perbedaan pemahaman di antara ke dua negara. Pada saat ini kedua belah pihak sedang melanjutkan perundingan guna menentukan batas landas kontinen di kawasan tersebut.

Perbatasan Indonesia-India
Perbatasan kedua negara terletak antara pulau Rondo di Aceh dan pulau Nicobar di India. Batas maritim dengan landas kontinen yang terletak pada titik-titik koordinat tertentu di kawasan perairan Samudera Hindia dan Laut Andaman, sudah disepakati oleh kedua negara. Namun permasalahan di antara kedua negara masih timbul karena sering terjadi pelanggaran wilayah oleh kedua belah pihak, terutama yang dilakukan para nelayan.

Perbatasan Indonesia-Thailand
Ditinjau dari segi geografis, kemungkinan timbulnya masalah perbatasan antara RI dengan Thailand tidak begitu kompleks, karena jarak antara ujung pulau Sumatera dengan Thailand cukup jauh, RI-Thailand sudah memiliki perjanjian Landas Kontinen yang terletak di dua titik koordinat tertentu di kawasan perairan Selat Malaka bagian utara dan Laut Andaman. Penangkapan ikan oleh nelayan Thailand yang mencapai wilayah perairan Indonesia, merupakan masalah keamanan di laut. Di samping itu, penangkapan ikan oleh nelayan asing merupakan masalah sosio-ekonomi karena keberadaan masyarakat pantai Indonesia.

Perbatasan Indonesia-Republik Palau
Sejauh ini kedua negara belum sepakat mengenal batas perairan ZEE Palau dengan ZEE Indonesia yang terletak di utara Papua. Akibat hal ini, sering timbul perbedaan pendapat tentang pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh para nelayan kedua pihak.

Perbatasan Indonesia-Timor Leste
Saat ini sejumlah masyarakat Timor Leste yang berada diperbatasan masih menggunakan mata uang rupiah, bahasa Indonesia, serta berinteraksi secara sosial dan budaya dengan masyarakat Indonesia. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antarwarga desa yang terdapat di kedua sisi perbatasan, dapat menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional, dapat berkembang menjadi masalah yang lebih kompleks. Disamping itu, keberadaan pengungsi Timor Leste yang masih berada di wilayah Indonesia dalam jumlah yang cukup besar potensial menjadi permasalahan perbatasan di kemudian hari.

Perjanjian Batas Wilayah Indonesia Dengan Negara Tetangga

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melakukan penyelesaian masalah garis batas landas kontinen dengan negara-negara sahabat dengan semangat good neighboorhood policy atau semangat kebijakan negara bertetangga yang baik di antaranya dengan negara sahabat Malaysia, Thailand, Australia dan India.

1.      Perjanjian RI dan Malaysia
·         Penetapan garis batas landas kontinen kedua negara di selat Malaka dan laut Cina Selatan
·         Ditandatangani tanggal 27 oktober 1969
·         Berlaku mulai 7 November 1969
2.      Perjanjian Republik Indonesia dengan Thailand
·         Penetapan garis batas landas kontinen kedua negara diselat Malaka dan laut andaman
·         Ditandatangani tanggal 17 Desember 1971
·         Berlaku mulai 7 April 1972
3.      Perjanjian Republik Indonesia dengan Malaysia dan Thailand
·         Penetapan garis batas landas kontinen bagian utara
·         Ditandatangani tanggal 21 Desember 1971
·         Berlaku mulai 16 Juli 1973
4.      Perjanjian RI dengan Australia
·         Penetapan atas batas dasar laut di Laut Arafuru, di depan pantai selatan Pulau Papua/Irian serta di depan Pantau Utara Irian/Papua
·         Ditandatangani tanggal 18 Mei 1971
·         Berlaku mulai 19 November 1973
5.      Perjanjian RI dengan Australia (Tambahan Perjanjian Sebelumnya)
·         Penetapan atas batas-batas dasar laut di daerah wilayah Laut Timor dan Laut Arafuru
·         Ditandatangani tanggal 18 Mei 1971
·         Berlaku mulai 9 Oktober 1972
6.      Perjanjian RI dengan India
·         Penetapan garis batas landas kontinen kedua negara di wilayah Sumatera / Sumatra dengan Kepulauan Nikobar / Nicobar
·          Ditandatangai tanggal 8 Agustus 1974
·         Berlaku mulai 8 Agustus 1974
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melakukan penyelesaian masalah garis batas landas kontinen dengan negara-negara sahabat dengan semangat good neighboorhood policy atau semangat kebijakan negara bertetangga yang baik diantaranya dengan negara sahabat Malaysia, Thailand, Australia dan India.

Permasalahan di Perbatasan RI

Survei mengenai penetapan Titik Dasar atau Base Point telah dilaksanakan oleh Dishidros TNI AL pada tahun 1989 hingga 1995 dengan melakukan Survei Base Point sebanyak 20 kali dalam bentuk survei hidro-oseanografi. Titik-titik Dasar tersebut kemudian diverifikasi oleh Bakosurtanal pada tahun 1995-1997.
Pada tahun 2002, Pemerintah RI menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002, tentang “Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia”, di mana di dalamnya tercantum 183 Titik Dasar perbatasan wilayah RI. Namun demikian, terlepas dari telah diterbitkannya PP 38 Tahun 2002, telah terjadi perubahan-perubahan yang tentunya mempengaruhi konstelasi perbatasan RI dengan negara tetangga seperti Timor Leste pasca referendum dan status Pulau Sipadan-Ligitan pasca keputusan Mahkamah Internasional.  
Di samping itu, patut pula dipertimbangkan untuk melakukan penge-cekan ulang terhadap pilar-pilar yang dibuat pada saatSurvei Base Point yang dilakukan pada sekitar 10 tahun lalu. Monumentasi ini perlu dilakukan sebagai bukti fisik kegiatan penetapan yang telah dilakukan serta menjadi referensi bila perlu dilakukan survei kembali di masa mendatang.
Hingga saat ini terdapat beberapa permasalahan perbatasan antara Indonesia dengan negara tetangga yang masih belum diselesaikan secara tuntas. Permasalahan perbatasan tersebut tidak hanya menyangkut batas fisik yang telah disepakati namun juga menyangkut cara hidup masyarakat di daerah tersebut, misalnya para nelayan tradisional atau kegiatan lain di sekitar wilayah perbatasan.

RI – Malaysia
Kesepakatan yang sudah ada antara Indonesia dengan Malaysia di wilayah perbatasan adalah garis batas Landas Kontinen di Selat Malaka dan Laut Natuna berdasarkan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Malaysia tentang pene-tapan garis batas landas kontinen antara kedua negara (Agreement Between Government of the Republic Indonesia and Government Malaysia relating to the delimitation of the continental shelves between the two countries), tanggal 27 Oktober 1969 dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 89 Tahun 1969.
Berikutnya adalah Penetapan Garis Batas Laut Wilayah RI – Malaysia di Selat Malaka pada tanggal 17 Maret 1970 di Jakarta dan diratifikasi dengan Undang-undang  Nomor 2  Tahun 1971 tanggal 10 Maret 1971.  Namun untuk garis batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) di Selat Malaka dan Laut China Selatan antara kedua negara belum ada kesepakatan.
Batas laut teritorial Malaysia di Selat Singapura terdapat masalah, yaitu di sebelah Timur Selat Singapura, hal ini mengenai kepemilikan Karang Horsburgh (Batu Puteh) antara Malaysia dan Singapura. Karang ini terletak di tengah antara Pulau Bintan dengan Johor Timur, dengan jarak kurang lebih 11 mil. Jika Karang Horsburg ini menjadi milik Malaysia maka jarak antara karang tersebut dengan Pulau Bintan kurang lebih 3,3 mil dari Pulau Bintan.
Perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Kalimatan Timur (perairan Pulau Sebatik dan sekitarnya) dan Perairan Selat Malaka bagian Selatan, hingga saat ini masih dalam proses perundingan.  Pada segmen di Laut Sulawesi, Indonesia menghendaki  perundingan batas laut teritorial terlebih dulu baru kemudian merundingkan ZEE dan Landas Kontinen. Pihak Malaysia berpendapat perundingan batas maritim harus dilakukan dalam satu paket, yaitu menentukan batas laut teritorial, Zona Tambahan, ZEE dan Landas Kontinen.
Sementara pada segmen Selat Malaka bagian Selatan, Indonesia dan Malaysia masih sebatas tukar-menukar peta illustrasi batas laut teritorial kedua negara.

RI – Thailand
Indonesia dan Thailand telah mengadakan perjanjian landas kontinen di Bangkok pada tanggal 17 Desember 1971, perjanjian tersebut telah diratifikasi dengan Keppres Nomor 21 Tahun 1972. Perjanjian perbatasan tersebut merupakan batas landas kontinen di Utara Selat Malaka dan Laut Andaman.
Selain itu juga telah dilaksanakan perjanjian batas landas kontinen antara tiga negara yaitu Indonesia, Thailand dan Malaysia yang diadakan di Kuala Lumpur pada tanggal 21 Desember 1971. Perjanjian ini telah diratifikasi dengan Keppres Nomor 20 Tahun 1972.
Perbatasan antara Indonesia dengan Thailand yang belum diselesaikan khususnya adalah perjanjian ZEE.

RI – India
Indonesia dan India telah mengadakan perjanjian batas landas kontinen di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1974 dan telah diratifikasi dengan Keppres Nomor 51 Tahun 1974 yang meliputi perbatasan antara Pulau Sumatera dengan Nicobar.
Selanjutnya dilakukan perjanjian perpanjangan batas landas kontinen di New Dehli pada tanggal 14 Januari 1977 dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 26 Tahun 1977 yang meliputi Laut Andaman dan Samudera Hindia.
Perbatasan tiga negara, Indonesia-India- Thailand juga telah diselesaikan, terutama batas landas kontinen di daerah barat laut sekitar Pulau Nicobar dan Andaman. Perjanjian dilaksankaan di New Delhi pada tanggal 22 Juni 1978 dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 25 Tahun 1978. Namun demikian kedua negara belum membuat perjanjian perbatasan ZEE.

RI – Singapura
Perjanjian perbatasan maritim antara Indonesia dengan Singapura telah dilaksanakan mulai tahun 1973 yang menetapkan 6 titik koordinat sebagai batas kedua negara. Perjanjian tersebut kemudian diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1973.
Permasalahan yang muncul adalah belum adanya perjanjian batas laut teritorial bagian timur dan barat di Selat Singapura. Hal ini akan menimbulkan kerawanan, karena Singapura melakukan kegiatan reklamasi wilayah daratannya. Reklamasi tersebut mengakibatkan wilayah Si-ngapura bertambah ke selatan atau ke Wilayah Indonesia.
Penentuan batas maritim di sebelah Barat dan Timur Selat Singapura memerlukan perjanjian tiga negara antara Indonesia, Singapura dan Malaysia. Perundingan perbatasan kedua negara pada Segmen Timur, terakhir dilaksanakan pada 8-9 Februari 2012 di Bali (perundingan ke-2).

RI – Vietnam
Perbatasan Indonesia – Vietnam di Laut China Selatan telah dicapai kesepakatan, terutama batas landas kontinen pada tanggal 26 Juni 2002. Akan tetapi perjanjian perbatasan tersebut belum diratifikasi oleh Indonesia. Selanjutnya Indonesia dan Vietnam perlu membuat perjanjian perbatasan ZEE di Laut China Selatan. Perundingan perbatasan kedua negara terakhir dilaksanakan pada 25-28 Juli 2011 di Hanoi (perundingan ke-3).

RI – Philipina
Perundingan RI – Philipina sudah berlangsung 6 kali yang dilaksanakan secara bergantian setiap  3 – 4 bulan sekali. Dalam perundingan di Manado tahun 2004, Philipina sudah tidak mempermasalahkan lagi status Pulau Miangas, dan sepenuhnya mengakui sebagai milik Indonesia.
Hasil perundingan terakhir penentuan garis batas maritim Indonesia-Philipina dilakukan pada bulan Desember 2005 di Batam. Indonesia menggunakan metode proportionality dengan memperhitungkan  lenght of coastline/ baseline kedua negara, sedangkan Philipina memakai metode median line. Untuk itu dalam perundingan yang akan datang kedua negara sepakat membentuk Technical Sub-Working Group untuk membicarakan secara teknis opsi-opsi yang akan diambil.

RI – Palau
Perbatasan Indonesia dengan Palau terletak di sebelah utara Papua. Palau telah menerbitkan peta yang menggambarkan rencana batas “Zona Perikanan/ZEE”  yang diduga melampaui batas yurisdiksi wilayah Indonesia. Hal ini terbukti dengan banyaknya nelayan Indonesia yang melanggar wilayah perikanan Palau. Permasalahan ini timbul karena jarak antara Palau dengan Wilayah Indonesia kurang dari 400 mil sehingga ada daerah yang overlapping untuk ZEE dan Landas Kontinen. Perundingan perbatasan kedua negara terakhir dilaksanakan pada 29 Februari - 1 Maret 2012 di Manila (perundingan ke-3).

RI – Papua New Guinea
Perbatasan Indonesia dengan Papua New Guinea telah ditetapkan sejak 22 Mei 1885, yaitu pada meridian 141 bujur timur, dari pantai utara sampai selatan Papua. Perjanjian itu dilanjutkan antara Belanda-Ing-gris pada tahun 1895 dan antara Indonesia-Papua New Guinea pada tahun 1973, ditetapkan bahwa perbatasan dimulai dari pantai utara sampai dengan Sungai Fly pada meridian 141° 00’ 00” bujur timur, mengikuti Sungai Fly dan batas tersebut berlanjut pada meridian 141° 01’ 10” bujur timur sampai pantai selatan Papua.
Permasalahan yang timbul telah dapat diatasi yaitu pelintas batas, penegasan garis batas dan lainnya, melalui pertemuan rutin antara delegasi kedua negara. Masalah yang perlu diselesaikan adalah batas ZEE sebagai kelanjutan dari batas darat.

RI – Australia
Perjanjian Batas Landas Kontinen antara Indonesia-Australia yang dibuat pada 9 Oktober 1972 tidak mencakup gap sepanjang 130 mil di selatan Timor Leste. Perbatasan Landas Kontinen dan ZEE yang lain, yaitu menyangkut Pulau Ashmore dan Cartier serta Pulau Christmas telah disepakati dan telah ditandatangani oleh kedua negara pada tanggal 14 Maret 1997, sehingga praktis tidak ada masalah lagi. Mengenai batas maritim antara Indonesia – Australia telah dicapai kesepakatan yang ditandatangani pada 1969, 1972 dan terakhir 1997.

RI – Timor Leste
Perundingan batas maritim antara Indonesia dan Timor Leste belum pernah dilakukan, karena Indonesia menghendaki penyelesaian batas darat terlebih dahulu baru dilakukan perundingan batas maritim. Dengan belum selesainya batas maritim kedua negara maka  diperlukan langkah-langkah terpadu untuk segera mengadakan pertemuan guna membahas masalah perbatasan maritim kedua negara.
Permasalahan yang akan sulit disepakati adalah adanya kantong (enclave) Oekusi di Timor Barat. Selain itu juga adanyaentry/exit point Alur Laut Kepulauan Indonesia III A dan III B tepat di utara wilayah Timor Leste. (Sumber: Mabes TNI AL).


Sumber: